Minggu, 10 Juni 2012

" Tak layak mencari hakim selain ALLAH "

Maka patutkah aku mencari hakim selain
Allah, padahal Dialah yang
telah menurunkan kitab
(Alquran) kepadamu dengan
terperinci? Orang-orang yang
telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Alquran
itu diturunkan dari Tuhanmu
dengan sebenarnya. Maka
janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu- ragu [TQS al-An’am [6]: 114). Banyak fakta yang
menunjukkan betapa rusaknya
ketika manusia, masyarakat,
dan negara yang ditata dengan
hukum produk hawa nafsu
manusia. Meskipun fakta tersebut dapat diindera dengan
kasat mata, namun seruan
untuk segera mencampakkan
hukum jahiliyyah itu seraya
segera menerapkan syariah,
masih banyak mendapat penolakan. Padahal, tidak ada
satu pun argumentasi yang
dapat diterima untuk
mendukung dan
membenarkan penolakan
tersebut. Manusia tidak layak
mengambil dan menerapkan
hukum buatan manusia, amat
banyak dijelaskan dalam ayat
maupun hadits Nabi SAW. Ayat
ini adalah di antaranya. Hanya kepada Allah Allah SWT berfirman: Afaghayrul-Lâh abghîhakam
[an] (maka patutkah aku mencari hakim selain
Allah).Dijelaskan al-Baghawi
bahwa sesungguhnya dalam
ayat ini terdapat kata yang
disembunyikan, yakni:
Katakan kepada mereka, wahai Muhammad, apakah
kepada selain Allah saya
mencari hakim antara aku dan
kalian? Menurut Abu Hayyan,
kaum Musyrikin Arab berkata
kepada Nabi SAW, “Jadikanlah antara kami dengan engkau
hakim dari pendeta Yahudi
atau pendeta Nasrani untuk
mengabarkan kepada kami
tentang engkau berdasarkan
kitab mereka.” Lalu, turunlah ayat ini. Ayat ini diawali dengan
hamzah al-istifhâm, huruf
yang berguna sebagai kata
tanya. Dalam konteks ayat ini,
sebagaimana dijelaskan al-
Syaukani, al-Alusi, dan al- Biqa’i, kata tersebut
memberikan makna al-inkârî.
Yakni kalimat tanya yang
bertujuan mengingkari
perkara yang disebutkan. Bisa
juga bermakna al-nafiyy (menegasikan) sebagaimana
diterangkan Abu Hayyan al-
Andalusi. Dalam Alquran,
cukup banyak uslub seperti ini,
seperti firman Allah SWT: Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama
Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang
di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa
dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan (TQS Ali
Imran [3]: 83). Perkara yang diingkari dan
dinafikan dalam ayat ini adalah
tindakan mencari hakamselain
Allah SWT. Menurutahli bahasa,
kata al-hakam semakna
dengan kata al-hâkim.Artinya, man yatahâkamu ilayh al-nâs (orang atau pihak yang
menjadi rujukan bagi manusia
dalam memutuskan perkara).
Demikian al-Jazairi dalam
tafsirnya, Aysar al-tafâsâr.
Hanya saja, menurut sebagian ahli takwil, kata al-hakam lebih
sempurna daripada kata al-
hâkim. Sebab, al-hâkim
mencakup semua orang yang
menghukumi, sedangkan al-
hakam tidak menghukumi kecuali dengan benar.
Demikian Fakhruddin al-Razi
dalam tafsirnya, Mafâtîh al-
Ghayb. Dengan demikian, ayat ini
memberikan pengingkaran
terhadap tindakan orang yang
mencari pemutus perkara
dengan keputusan yang benar
kepada selain Allah SWT. Selain ayat ini, amat banyak dalil
yang memberikan celaan dan
larangan terhadap orang yang
tidak mau berhukum kepada-
Nya atau hukum yang
diturunkan-Nya, seperti QS al- Nisa [4]: 60, al-Maidah [5]: 45,
46, dan 47, dan lain-lain. Kitab-Nya Sudah Terperinci Bahwa tindakan mencari
hakam selain Allah
SWTmerupakan tindakan yang
tidak layak, ditegaskan dalam
frasa selanjutnya: Wahuwa al- ladzî anzala ilaykum al-Kitâb
mufashshal[an] (padahal Dialah yang telah menurunkan kitab
[Alquran] kepadamu dengan
terperinci?).Menurut al-Alusi,
kalimat ini berkedudukan
sebagai hâl yang berfungsi
muakkidah li al-inkâr (menegaskan makna
pengingkaran). Maksud dari kata al-Kitâb
dalam kalimat ini adalah
Alquran.Sebagaimana
dijelaskan para mufassir,
seperti al-Syaukani, Ibnu
Athiyah, al-Wahidi al-Naisaburi, al-Biqa’i, dan lain-lain.
Sedangkan mufashshal[an],
menurut al-Syaukani, berarti
mubayyan[an]wâdhih[an]
mustawfiyan li kulli
qadhiyyah’alâ al-tafshîl (terang, jelas, dan mencukupi
untuk semua masalah secara
terperinci). Tak jauh berbeda, al-Alusi juga
memaknainya sebagai
mubayyan (terang). Di
dalamnya terdapat penjelasan
tentang yang haq dan batil,
halal dan haram, dan berbagai hukum lainnya sehingga tidak
ada satu pun perkara agama
yang rancu dan samar. Maka
semua kebutuhan sesudah itu,
dapat merujuk kepada hukum
tersebut. Bahwa Alquran telah
memberikan penjelasan
tentang hukum secara
menyeluruh juga diberitakan
dalam firman-Nya: Dan Kami
turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu(TQS al-Nahl [16]:
89). Juga dalam QS Hud [11]: 10.
Oleh karena Alquran
memberikan penjelasan secara
menyeluruh dan terperinci, maka manusia tidak
memerlukan lagi hukum-
hukum lainnya dalam perkara
al-dîn. Mengapa masih mencari
yang lain sementara semua
jawaban atas pertanyaan hukum sudah tersedia dalam
Alquran? Realitas Ahli Kitab Setelah dijelaskan tentang
keharusan berhukum kepada-
Nya, kemudian diberitakan
mengenai realitas
sesungguhnya Ahli Kitab
terhadap Alquran. Allah SWT berfirman: Wal-ladzîna âtaynâhum al-Kitâb ya’lamûna
annahu munazzal min Rabbika
bi al-haqq(orang-orang yang telah Kami datangkan kitab
kepada mereka, mereka
mengetahui bahwa Alquran
itu diturunkan dari Tuhanmu
dengan
sebenarnya).Penunjukan kata al-Kitâbdalam frasa ini berbeda
dengan frasa sebelumnya.
Sebagaimana diterangkan al-
Biqa’i, kata al-Kitâb dalamfrasa
ini menunjuk kepada Taurat,
Zabur, dan Injil. Sehingga, maksud dari orang-orang
yang telah diberikan al-Kitabini
adalah Yahudi dan Nasrani.
Merekalah kaum yang telah
diberikan kitab-kitab tersebut.
Menurut Abu Hayyan, al- Jazairi, dan al-Shabuni, dalam
konteks ayat ini, mereka
adalah para pendeta Yahudi
dan Nasrani. Sedangkan
dhamîr al-ghâib pada kata
annahu menunjuk kepada Alquran. Diberitakan dalam ayat ini,
sesungguhnya mereka telah
mengetahui kebenaran
Alquran. Mereka juga
mengetahui bahwa Alquran
benar-benar merupakan kitab yang diturunkan Allah SWT,
yang di dalamnya tidak ada
perkara yang batil dan
meragukan. Imam al-Qurthubi
menafsirkan frasa munazzal min Rabbika bi al-haqq dengan ungkapan: Semua yang ada di
dalamnya, baik janji maupun
ancaman, merupakan
kebenaran. Menurut sebagian mufassir,
seperti al-Nasafi, maksud dari
al-ladzîna âtaynâ al-Kitâb
adalah orang-orang Mukmin
yang sebelumnya berasal dari
Ahli Kitab, seperti Abdullah bin Salam dan teman-temannya.
Mereka adalah orang-orang
yang mengetahui kebenaran
Alquran. Akan tetapi tampaknya
penafsiran ini tidak tepat.
Sebab ada beberapa nash yang
menunjukkan bahwa selain
mereka (Ahli Kitab) yang
masuk Islam, sesungguhnya juga mengetahui kebenaran
Alquran dan kenabian
Rasulullah SAW (lihat QS al-
Baqarah [2]: 146, al-An’am [6]:
20). Akan tetapi, pengetahuan
mereka terhadap kebenaran Alquran tidak lantas membuat
mereka menjadi beriman.
Sebagian besar mereka tetap
bersikap ingkar karena
kesombongan dan kedengkian
mereka. Allah SWT berfirman: Sebahagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang
(timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi
mereka kebenaran (TQS al-
Baqarah [2]: 109). Bahkan bukan hanya Ahli
Kitab, semua orang yang mau
menelaah Alquran niscaya
akan berkesimpulan sama.
Sebab, sebagai Kitab yang
ditujukan untuk seluruh manusia, kemukjizatan
Alquran dapat dijangkau oleh
semua manusia. Oleh karena
itu, tatkala manusia
menggunakan akalnya dengan
benar pastilah dapat menangkap kebenaran
Alquran. Kemudian ayatini ditutup
dengan firman-Nya: Falâ takûnanna min al-mumtarîn (maka janganlah kamu sekali-
kali termasuk orang yang
ragu-ragu).Menurut al-Alusi,
pengertian al-mumtarîn adalah
al-mutaraddidîn (orang-orang
yang ragu). Tak jauh berbeda, al-Qurthubi juga
menafsirkannya sebagai al-
syâkkîn (orang-orang yang
ragu). Yakni, orang-orang
yang ragu bahwa Alquran itu
diturunkan Allah. Khithâb (seruan) ayatini secara
zhahir ditujukan kepada Nabi
SAW. Seruan tersebut bisa
bermakna sebagai al-tahyîj wa
al-ilhâb (membangkitkan dan
mengobarkan semangat). Ini sebagaimana firman Allah
SWT: Dan jangan sekali-kali
kamu masuk golongan orang-
orang musyrik(TQS al-An’am
[6]: 14). Bisa juga dipahami,
bahwa eruan tersebut pada hakikatnya ditujukan kepada
umatnya. Demikianlah. Tidak ada alasan
yang dapat membenarkan
sikap yang menolak hukum
yang diturunkan Allah SWT.
Selain hukum tersebut dijamin
kebenarannya, juga telah memberikan solusi
permasalahan hidup manusia
secara menyeluruh. Termasuk
dalam aspek politik, ekonomi,
pendidikan, pergaulan pria-
wanita, pidana, dan lain-lain. Inilah satu-satunya hukum
yang akan mengantarkan
mansuia meraih kebahagian di
dunia dan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar